Senin, 23 November 2009

Cerita "Antara Seorang Istri Dan Ibu Suaminya "

Disunting oleh seorang ibu dari Bekasi... Berbagi pengalaman untuk masukan. :)

Saya pernah membaca bahwa yang paling berhak atas diri seorang wanita adalah suaminya. Sedangkan yang paling berhak atas diri seorang laki-laki adalah Ibunya. Di tangan manakah, oleh suami, posisi seorang istri diletakkan? Kanan atau kiri? Maksudnya, mana yang didahulukan kepentingannya. Istri atau Ibu? Mengenai kasih sayang, tak ragu lagi cinta suami kepada saya. Tapi jika menyangkut masalah keuangan, saya selalu merasa dinomorduakan!

Dulu saya sulit sekali menerima kenyataan bahwa setelah menikah saya masih harus berbagi gaji suami yang pas-pasan itu dengan ibunya di kampung. Saya cemberut setiap kali melihat tulisan "untuk Ibu" di daftar pengeluaran bulanan. Saya tak rela jika uang jatah tabungan itu dialokasikan untuk keluarganya. Pikir saya, toh mereka enggak miskin2 amat, dan anak Ibunya kan bukan cuma suami saya. Kalau begini terus, mungkin kami akan tinggal di rumah kontrakan seumur hidup. Begitulah keberatan yang saya tumpahkan pada suami, sebagai hasil kolaborasi ketipisan iman saya ditambah bisikan setan yang menyesatkan.

Lama saya berjibaku dengan pikiran buruk seperti itu. Saya merasa sayalah yang paling berhak atas semua yang menyangkut suami : diri, cinta, dan hartanya. Bukankah saya yang setiap hari harus memasak untuknya, mencuci pakaian kotornya, merawat dan membesarkan buah hatinya?

Lalu suatu hari seorang teman curhat. Kakak lelakinya berubah menjadi pelit dan menjaga jarak setelah menikah. Sebelumnya dia begitu loyal kepada keluarga, apalagi kepada ibunya. Sekarang, jangankan memberi uang, mengunjungi ibunya saja jarang. Padahal kehidupan ekonominya semakin mapan setelah dia menikah. Usut punya usut, ternyata istrinya terlalu dominan. Selain uang, waktu berkunjung ke ibunya pun dibatasi oleh sang istri. Jadilah orangtuanya merana karena dilupakan putranya sendiri.

Cerita teman itu membuat saya berpikir dan berkaca diri. Sampai akhirnya saya tersadar, bukankah sudah sepatutnya saya bangga dan bersyukur punya suami yang tetap berbakti pada orangtua tanpa mengenyampingkan kewajiban pada istri dan anaknya? Tapi saya malah tidak mendukungnya, tidak ikhlas, tidak qonaah dengan apa yang telah dilakukan dan diberikan oleh suami.

Saya iri kepada ibu mertua. Padahal kalau mau iri, justru ibunyalah yang paling berhak dan pantas untuk iri pada saya. Betapa tidak, anak lelaki yang telah dirawat dan dibesarkan sepenuh hati, ketika dewasa dan mandiri harus direlakan pergi untuk menikah dengan seorang wanita yang akan mengambil alih seluruh energi cinta, perhatian, diri, serta hartanya. Dan hanya menyisakan sekian persen dari semua itu untuk orangtuanya. Padahal jasa orangtua belum cukup terbalaskan  dan tak akan pernah terbalaskan. Duh, saya jadi malu sendiri.

Sejak itu, saya tak pernah komplain atau manyun lagi jika "untuk ibu" terselip di daftar pengeluaran kami. Saya yakin, semakin banyak memberi semakin banyak diberi, asal dengan ikhlas yang menyertai. Dan itu terbukti, kehidupan saya dan keluarga menjadi semakin membaik. Itu semua berkat akumulasi doa yang dimunajatkan seorang ibu yang tak pernah kehilangan bakti dari anak lelakinya sendiri, meski ia sudah beristri. Saya yakin itu.

2 komentar: