Selasa, 05 Januari 2010

Naluri, Kecerdasan, dan Ketidak Adilan


Terus terang, meski sudah beberapa kali mengadakan penelitian Kriminal di LP, pengalaman kali ini adalah pengalaman pertama saya ngobrol langsung dgn seseorang yg didakwa kasus pembunuhan berencana. Dengan jantung dag dig dug, pikiran saya melayang-layang mengira-ngira gambaran orang yg akan saya temui. Sudah terbayang muka keji hanibal lecter, juga penjahat-penjahat berjenggot palsu ala sinetron dan gambaran-gambaran pembunuh berdarah dingin lain yg sering saya temui di cerita TV.

Well, akhirnya setelah menunggu sekian lama berharap-harap cemas, salah satu sipir membawa seorang anak kehadapan saya. Yup, benar seorang anak berumur 8 tahun. Tingginya tidak lebih dari pinggang orang dewasa dgn wajah yg diliputi senyum malu-malu. Matanya teduh dgn gerak-gerik yg sopan.

Saya pun membaca berkas kasusnya yg diserahkan oleh sipir itu. Sebelum masuk penjara ternyata ia adalah juara kelas di sekolahnya, juara menggambar, jago bermain suling, juara mengaji dan azan di tingkat kanak-kanak. Kemampuan berhitungnya lumayan menonjol. Bahkan dari balik sekolah di dlm penjara pun nilai sekolahnya tercatat kedua terbesar tingkat provinsi. Lantas kenapa ia sampai membunuh? Dengan rencana pula?

Kasus ini terjadi ketika Arif sebut saja nama anak ini begitu, belum genap berusia tujuh tahun. Ayahnya yg berdagang di sebuah pasar di daerah bekasi, dihabisi kepala preman yg menguasai daerah itu. Latar belakangnya karena si ayah enggan membayar uang "keamanan" yg begitu tinggi. Berita ini rupanya sampai di telinga Arif. Malam esok harinya setelah ayahnya dikebumikan ia mendatangi tempat mangkal preman tsb.

Bermodalkan pisau dapur ia menantang orang yg membunuh ayahnya.

"Siapa yg bunuh ayah saya!" teriaknya kepada orang yg ada di tempat itu.
"Gue terus kenapa?" ujar kepala preman yg membunuh ayahnya sambil disambut gelak tawa di belakangnya.

Tanpa banyak bicara anak kecil itu sambil melompat menghunuskan pisau ke perut si preman. Dan tepat mengenai ulu hatinya, pria berbadan besar itu jatuh tersungkur ke tanah. Arif pun langsung lari pulang ke rumah setelahnya. Akhirnya selesai sholat subuh esok paginya ia digelandang ke kantor polisi.

"Arif nih sering bikin repot petugas di Lapas!" ujar kepala lapas yg ikut menemani saya mewawancarai arif sambil tersenyum. Ternyata sejak di penjara dua tahun lalu. Anak ini sudah tiga kali melarikan diri dari selnya. Dan caranya pun menurut saya tergolong ajaib. Pelarian pertama dilakukannya dgn cara yg tak terpikirkan siapapun. Setiap pagi sampah-sampah dari Lapas itu di jemput oleh mobil kebersihan. Sadar akan hal ini, diam-diam Arif menyelinap ke dlm salah satu kantung sampah.

Hasilnya 1-0 utk Arif. Ia berhasil keluar dari penjara. Pelarian kedua lebih kreatif lagi. Anak yg doyan baca ini pernah membaca artikel tentang fermentasi makanan tape (ingat loh waktu wawancara usianya baru 8 tahun). Dari situ ia mendapat informasi bahwa tape mengandung hawa panas yg bersifat destruktif terhadap benda keras. Kebetulan pula di Lapas anak ini disediakan tape uli dua kali dlm seminggu. Setiap disediakan tape, arif selalu berpuasa karena jatah tape itu dibalurkannya ke dinding tembok sel tahanannya. Hasilnya setelah empat
bulan, tembok penjara itu menjadi lunak seperti tanah liat. Satu buah lubang berhasil dibuatnya. 2-0 utk arif. Ia keluar penjara kedua kalinya. Pelarian ketiganya dilakukan ala Mission Imposible. Arif yg ditugasi membersihkan kamar mandi melihat ember sebagai sebuah solusi.

Besi yg berfungsi sebagai pegangan ember itu di simpannya di dlm kamarnya. Tahu bahwa dirinya sudah diawasi sangat ketat, Arif memilih tempat persembunyian paling aman sebelum memutuskan utk kabur. Ruang kepala Lapas menjadi pilihannya. Alasannya jelas, karena tidak pernah satu pun penjaga berani memeriksa ruangan ini. Ketika tengah malam ia menyelinap keluar dgn menggunakan besi pegangan ember utk membuka pintu dan gembok. Jangan tanya saya bagaimana caranya, pokoknya tahu-tahu ia sudah diluar. 3-0 utk Arif. Lantas kenapa ia bisa tertangkap lagi?

Rupanya kepintaran itu masih berada di sebuah kepala bocah.
Pelarian-pelarianny a didorong dari rasa kangennya terhadap ibunya. Anak ini keluar dari penjara hanya utk ke rumah sang ibunda tercinta. Jadi dari Lapas tanggerang ia menumpang-numpang mobil omprengan dan juga berjalan kaki sekian kilometer dgn satu tujuan, pulang! Karena itu pula pada pelarian Arif yg ketiga, kepala Lapas yg juga seorang ibu ini meminta anak buahnya utk tidak segera menjemput Arif. Hasilnya dua hari kemudian Arif kembali lagi ke lapas sambil membawa surat utk kepala Lapas yg ditulisnya sendiri.

Ibu kepala Arif minta maaf, tapi Arif kangen sama ibu Arif. Tulisnya singkat.

Seorang anak cerdas yg harus terkurung dipenjara. Tapi, saya tidak lantas berpikir bahwa ia tidak benar-benar bersalah dan harus dibebaskan. Bagaimanapun juga ia telah menghilangkan nyawa seseorang.

Tapi saya hanya berandai-andai jika saja, polisi bertindak cepat menangkap pembunuh si ayah (secepat polisi menangkap si Arif) pastinya saat ini anak pintar dan rajin itu tidak akan berada di tempat seperti ini. Dan kreativitasnya yg tinggi itu bisa berguna utk hal yg lain.
Sayangnya si Arif itu cuma anak pedagang sayur miskin sementara si preman yg dibunuhnya selalu setia menyetor kepada pihak berwajib setempat. Itulah yg namanya keadilan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar